~*♥ KETIKA CINTA HARUS BERSABAR ~*♥ Bagian 9

”Assalamu’alaikum” Ucapnya dengan lembut.


”Wa’alaikumussalam” Jawabku sambil melemparkan senyum padanya.


”Afwan kamu Dinda kan, istrinya Yusuf?”


”Iya. Kamu pasti Alifa” Jawabku menimpalinya.


”Iya aku Alifa. Kamu masih ingat aku? Bukankah kita belum pernah berkenalan?”


”Bagaimana mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu datang ke pernikahanku”.


”Oh, syukurlah kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau tak akan mengenaliku”


”Tenang saja. Aku selalu berusaha untuk mengingat orang-orang yang pernah aku kenal. Oh iya, kamu ikut acara ini?”


”Iya. Kamu sendirian? Yusufnya mana?”


”Mungkin sebentar lagi akan sampai. Tadi kami janjian untuk bertemu disini”


”Oh begitu” Sahut Alifa datar. Aku mengangguk sambil tersenyum.


”Oh iya hampir lupa” Tukasnya padaku. Dia mengambil sesuatu dari tasnya.


”Ini” Ucapnya sambil memberikan sebuah undangan pernikahan berwarna biru tua padaku. Aku menerimanya.


”Ini undangan pernikahanku. Datang ya?” Sambungnya. Aku menatapnya sesaat lalu kubuka undangan itu. Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah dengan Guntur Maulana.


”Selamat ya?” Ucapku padanya. Dia mengangguk.


”Kalau begitu aku ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang bersama suamimu di hari pernikahanku nanti” Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.


”Insya Allah nanti aku sampaikan” Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari hadapanku. Kulihat lagi jam tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi Mas Yusuf belum juga datang. Kemana dia?


Tak lama berselang aku mendapati seorang ikhwan yang dulu pernah aku lihat di book fair. Dia temannya Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya. Aku melihatnya tepat ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan menghampiriku.


”Assalamu’alaikum. Yusufnya kemana ukh ?” Tanyanya padaku.


Aku menggeleng, ”Wa’alaikumusslam. Belum datang”.


”Oh...Bukannya bareng?”


Aku menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku kearah jalan. Siapa tahu Mas Yusuf sudah datang.


”Tadi sih ana ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau pergi jenguk Mas Bambang yang lagi sakit. Tapi dia nggak bilang mau datang kesini” Jelasnya.


”Memang Mas Bambang sakit apa? Antum tahu kapan dia pergi jenguk Mas Bambang?” Tanyaku.


”Tadi pagi kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi tadi dia tidak mengajar. Kayaknya abis Ashar tadi deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang, pulang dari rumah Mas Bambang dia mau langsung kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi nggak tahu juga sih”


Aku terdiam sejenak.


”Randi!! Ayo!” Teriak salah seorang memanggil ikhwan yang kini ada di hadapanku yang kutahu bernama Randi.


”Afwan. Ana duluan. Asslamu’alaikum” Ucapnya lalu melangkah menghampiri seseorang yang tadi memanggilnya.


”Wa’alaikumussalam” Sahutku.


Pikiranku semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan janjinya? Apa Mas Yusuf lupa kalau aku sekarang tengah menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Engkau mendatangkan Randi kesini untuk memberikan kabar yang membuatku bimbang? Sesaat lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan telah membasahi pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan kubuka untuk melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku menunggunya disini, pasti aku sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau saja aku tidak berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat ini aku sudah berada di dalam tanpa harus berdiri disini ditemani hujan yang turun semakin deras.


Langit sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan berucap bismillah aku melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak menunaikan shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada Mas Yusuf.


Setelah shalat Maghrib, aku kembali lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti datang. Hujan sudah mulai reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang membasahi jilbabku. Aku sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi Mas Yusuf kembali. Tapi kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengiriminya pesan yang isinya:


Mas, bkn mksudku ingin mengingkari janjiku u/ menunggumu disini smp kau dtg. Tp sungguh, aku sdh tk kuat lagi berdiri disini u/ menunggumu. Jd aku hrp, kau mau mengizinkanku u/ plg skrg.


Kukirim segera. Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah selalu ada bagi hambahambaNya yang bersabar. Tak lama kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas Yusuf. Ternyata Isinya,


Aku segera kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji. Afwan


Tiba-tiba air mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku berusaha untuk meluruskan pikiranku. Aku berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik tentang Mas Yusuf, tapi kenapa air mata ini masih saja membasahi wajahku? Sekuat tenaga aku yakinkan diriku kalau Mas Yusuf hanya terlupa. Dan bukan karena dia tidak mencintaiku makanya dia lupa pada janjinya.


Seperempat jam aku menunggunya akhirnya dia datang juga. Entah bagaimana lagi raut wajahku saat ini. Yang pasti aku berusaha untuk tetap tersenyum melihat kedatangannya.

”Maaf ya, maaf banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu kalau Mas Bambang itu sakit. Tadi pagi kakinya tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi, jadi tadi dia tidak mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengjak aku untuk menjenguknya. Kamu tidak marah kan?” Cerocosnya begitu dia sampai di hadapanku.


Aku memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab sedikitpun. Aku bingung harus menjawab apa. Aku memang marah dan kesal padanya, tapi aku juga tidak mau dia tahu kalau aku marah padanya. Aku putuskan untuk menggeleng sambil berucap, ”Iya” ”Maksudnya?” Tanyanya tidak mengerti.


”Coba kamu pikirkan kembali apa jawabanku barusan. Kalau kau mengerti, pasti kau tahu apa maksud dari jawabanku” Sahutku dengan nada datar. Aku sudah lelah. Dia terdiam. Acara di Bumiwiyata sudah selesai. Orang-orang sudah berhamburan keluar. Aku teringat Alifa yang memberikan undangan pernikahnnya padaku. Aku segera mengambilnya dari dalam tas dan memberikannya pada Mas Yusuf.


”Nih” Ucapku sambil menyodorkan undangannya.


”Apa ini?” Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.

”Undangan pernikahan Alifa” Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak lama dia berucap datar.


”Mungkin inilah yang terbaik”


Aku hanya diam. Dia mengembalikan undangannya padaku dan menyuruhku naik ke motornya. Sambil naik aku berkata,


”Sebaiknya kita tidak usah kerumah ibu. Tidak enak rasanya datang kesana dengan pakaianku yang basah. Lebih baik besok saja kita kesananya”


”Baiklah” Sahutnya.


Motor yang kami tumpangi segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Sepanjang jalan kami hanya diam sambil mengintrospeksi diri masing-masing. Adakah surga yang tadi aku impi-impikan bisa aku cium baunya? Adakah surga yang telah Allah janjikan itu, bisa juga kami rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang dapat menentukan.


Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan segalanya dengan jelas. Aku hanya bisa berdo’a dalam diamku.



Hari pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas Yusuf pergi kesana bersama-sama. Setelah kemarin aku menyerahkan revisi novelku yang ketiga pada pihak penerbit, aku langsung membeli kado pernikahan untuk Alifa.


Mas Yusuf terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia masih menyimpan nama Alifa dalam hatinya? Entahlah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Didepan sebuah rumah berbentuk seerhana, Mas Yusuf menaruh motornya dengan beberapa motor lainnya yang sudah terparkir lebih dulu disana. Setelah menulis nama kami di buku tamu dan memberikan bingkisanku pada dua orang wanita berjilbab ayu yang duduk disana, kami masuk kedalam menemui Alifa dan suaminya.


Senyuman penuh kehangatan terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia benarbenar tidak bisa memungkiri kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena hari ini dia sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia karena hari ini adalah hari pernikahannya, dan bahagia karena dia dan suaminya, saling mencintai.


Tapi Alifa tidak sadar dan tidak menyadari, kalau ada seseorang yang hatinya begitu hancur melihat dia bersanding dengan orang lain. Dia adalah suamiku sendiri. Sebagai seseorang yang sudah hidup bersamanya selama lima bulan lebih, aku sudah bisa melihat ada kemurungan lain yang aku tangkap di wajahnya yang sendu. Mungkin dia berpikir, ’seharusnya aku yang ada di pelaminan itu dan bukan lelaki yang bernama Guntur itu’. Astaghfirullah!! Aku tak mau su’udzan pada suamiku. Kembali kuluruskan niatku. Aku memasuki halaman rumahnya yang sudah di penuhi oleh para tamu. Undangan laki-laki dan undangan wanita di pisah oleh hijab.


Aku bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan erat seraya mengucapkan kalimat yang sama seperti yang pernah ia ucapkan padaku saat menikah.


”Barakallah ya Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah”


”Syukran ya?” Ucapnya.


Aku mengangguk dan tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa berucap sepatah katapun padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami beranjak pergi, Alifa meminta kami untuk berfoto bersama. Aku berdiri disamping Alifa dan Mas Yusuf berdiri di samping Guntur. Tinggi badanku hampir sama dengan Alifa dan sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda dengan Guntur.


Setelah berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku mengambil hidangan di tempat akhwat dan Mas Yusuf mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah menghabiskan makanan kami, Mas Yusuf memberikan isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan. Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun menurutinya.


Sebelum pulang, sekali lagi kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu bahagia

Tiga bulan telah berlalu dari hari itu. Dan malam ini, aku kembali meneteskan air mataku. Suami yang aku bangga-banggakan selama ini ternyata berbohong padaku. Kenapa seseoang yang taat beragama,rajin beribadah dan membaca Al-Qur’an, serta seorang yang terbiyah seperti dia bisa membohongiku? Aku tak pernah habis pikir. Tadi pagi dia mengatakan padaku bahwa dia tidak bisa ikut hadir dalam acara munasoroh Palestine di Monas. Tapi ternyata, diantara ribuan, bahkan puluhan ribu ikhwan yang datang pada acara itu, kedua mataku menangkap sosok seorang ikhwan yang sudah lebih dari 8 bulan ini hidup bersamaku. Aku melihat suamiku tengah mengibarkan bendera Palestina, lengkap dengan topi dan ikat kepalanya yang bertuliskan ’Save Palestine’. Dia mengibarkan bendera itu dengan penuh semangat dan ghirah yang selalu membakar jiwa.


Entah mengapa Allah swt menampakkannya di penglihatanku di tengah kerumunan orangorang itu. Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku sadar dia membohongiku. Berkali-kali aku yakinkan diriku bahwa orang yang aku lihat itu bukan suamiku. Tetapi ketika kutatap sekali lagi wajahnya yang samar-samar kulihat dari kejauhan dan dari kerumunan orang, aku mantapkan hati bahwa dia memang suamiku. Ikhwan itu memang benar-benar Mas Yusufku. Melihat hal itu, langsung saja aku palingkan wajahku dan mengajak Nadia, sahabatku untuk beranjak pergi dari awal tempatku berdiri. Aku tidak mau Nadia sampai tahu kalau ternyata Mas Yusuf menjadi salah satu pengibar bendera Palestina disana. Sebab dari awal aku sudah terlanjur bilang padanya bahwa Mas Yusuf tidak bisa hadir karena ada urusan di sekolahnya. Nadia pun percaya. Dan aku tidak ingin kepercayaan Nadia itu berubah menjadi ketidakpercayaan padaku atau pun suami, karena dia telah melihat Mas Yusuf disana.


Dengan gontai kulangkahkan kakiku keluar dari kerumunan orang-orang yang sedang bersemangat itu. Kuajak serta Nadia dari sana dengan alasan aku lelah dan ingin mencari minum pelepas dahaga. Dan kebetulan saja, waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, menandakan bahwa sebentar lagi azan zuhur akan berkumandang. Segera saja kuajak Nadia untuk pergi dari Monas menuju masjid terdekat, Masjid Istiqlal. Disana sudah banyak ikhwan / akhwat yang berpeluh dan berkeringat tengah membanjiri Masjid Istiqlal untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan Nadia mencari tempat wudhu wanita dan mengambil wudhu disana. Cukup mengantri memang, tapi akhirnya aku dan Nadia bisa mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur berkumandang.


Kuselonjorkan kakiku dan kusandarkan punggungku kesalah satu tiang masjid ketika aku dan Nadia sudah mendapatkan posisi yang cukup nyaman untuk shalat. Sambil menunggu azan berkumandang, kunikmati sebotol air mineral yang tadi aku beli sambari angin sepoi-sepoi dan semriwing membelai-belai wajahku. Diwaktu yang sama, kulihat Nadia juga melakukan hal yang sama sepertiku. Kulemparkan senyum padanya lalu kuarahkan kembali pandanganku lurus kedepan. Angin sepoi-sepoi terus saja membelai lembut wajahku ketika tiba-tiba saja kedua mataku basah dengan air mata. Aku teringat kembali dengan Mas Yusuf. Kenapa dia berbohong padaku? Apa dia tidak mau pergi keacara itu bersamaku sehingga dia harus berdusta? Atau apa? Sekuat tenaga kuluruskan pikiranku dan sebenarnya aku tak ingin bersu’udzan padanya. Tapi..... Seketika air mataku jatuh membasahi wajahku. Aku tersadar. Ternyata azan Zuhur


tengah berkumandang. Aku segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat Zuhur bersama Nadia dengan terlebih dahulu melaksanakan sunnah rawatib 2 rakaat. Nadia menjadi imam dan aku menjadi makmum. Setelah shalat Zuhur kami melaksanakan shalat sunnah rawatib lagi 2 rakaat lalu kembali istirahat sebentar. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, kami memutuskan untuk pulang. Diperjalanan Nadia banyak sekali bercerita tentang hal-hal yang lucu. Aku ingin sekali tertawa tapi tidak bisa.


Bayangbayangku tentang Mas Yusuf kembali mengusik pikiranku. Hal itu mengalahkan semua rasa dan pemikiranku yang kala itu tengah mendengarkan cerita Nadia. Aku hanya bisa tersenyum kecil tanpa bisa berkomentar apa-apa. Dan ketika Nadia bertanya padaku tentang sikapku, aku hanya menggeleng dan menjawab, ”Nggak. Aku enggak kenapa-kenapa. Terus bagaimana kelanjutannya?”


Lalu Nadia pun melanjutkan ceritanya. Aku hanya mendengarkannya dengan pikiran yang entah kemana perginya. Nadia mengajakku mampir sebentar ke warung somay yang ada di Stasiun Gondangdia. Aku menurutinya. Aku memesan satu porsi tapi tidak habis.Nadia membayarnya dan aku pun memberikan uang sepuluh ribuan padanya. Awalnya dia menolak tapi kupaksa dan akhirnya dia menerimanya.


Kami naik keatas dan membeli tiket. Nadia yang membelinya. Jurusan Lenteng Agung dan Pasar Minggu. Di Stasiun Gondangdia sudah banyak sekali orang yang beratribut Palestina. Entah bajunya, kerudungnya, atau topi dan pin yang mereka kenakan. Memang, semangat saudara-saudara kita di Palestina tidak pernah surut untuk melawan penjajah Israel, sampai mereka takluk dan menyatakan menyerah pada rakyat Palestina.


Ya...memang masa-masa itu belum tahu kapan tapi yang pasti saat-saat itu akan ada masanya. Dan aku yakin Allah pasti akan menepati janjiNya. Sebagaimana dijelaskan dalam wahyuNya, surat Al-Baqarah ayat 85-86.


”Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari kamu kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian alkitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orangorang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong”


Dari jarak beberapa meter aku melihat seorang akhwat yang sepertinya aku kenal. Dia sedang berbincang dengan beberapa teman akhwatnya sesama aktivis. Aku berusaha mengingatnya sekuat tenaga. Tapi siapa dia? Alhamdulillah setelah berpikir keras, aku mengingatnya. Dia adalah sahabatnya Alifa. Dia pernah datang bersama Alifa ke pesta pernikahanku. Ingin sekali rasanya aku mendekatinya dan menanyakan kabar Alifa padanya. Dengan langkah yang pasti, aku mengajak Nadia untuk menghampirinya.


”Assalamu’alaikum” Ucapku padanya.


”Wa’alaikummussalam” Sahutnya bersama dengan beberapa temannya.


”Afwan, ana mau tanya, apa anti temannya Alifa?” Tanyaku sambil mengarahkan pandanganku pada orang yang kumaksud.


”Oh, iya ana temannya Alifa. Ana Ririn. Afwan, anti istrinya akh Yusuf kan?”


”Iya. Ehm, ana mau tanya, bagaimana kabar Alifa sekarang? Apa dia tidak ikut munasoroh? Atau mungkin dia pergi dengan suaminya ya?”


Wajah ukhti yang ada dihadapanku terlihat muram.


”Ada apa ya Rin?” Tanyaku langsung padanya.


”Ehm...keadaan Alifa sekarang tidak begitu baik” Jawabnya dengan nada sedih.


”Memang dia kenapa?”


Ririn mulai menjelaskan.


”Seminggu setelah pernikahannya, suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Mobil yang dikendarainya mogok dan terjebak di rel kereta api. Dan pada saat yang bersamaan, kereta datang melintas dan Guntur....” Ririn memutus perkataannya. Aku hanya bisa diam sambil meringis mendengarnya. Dalam hati aku terus beristighfar.


”Lalu keadaan Alifa sekarang bagaimana?” Tanyaku setelah tadi aku sempat terkejut mendengarnya.


”Keadaan terakhir yang aku tahu, dia kini terbaring di rumah sakit karena stres. Awalnya dia bisa menerima kenyataan ini, tapi makin kesini, kondisinya semakin parah. Dia tidak mau makan dan minum, sampai akhirnya sakit. Dia terus memikirkan kematian suaminya yang sangat tragis. Dan pada akhirnya dia harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi tubuhnya semakin lemah dan parah” Jelas Ririn. Aku diam sejenak lalu bertanya di rumah sakit mana Alifa dirawat. Setelah Ririn memberitahukan dimana Alifa dirawat, aku segera meminta diri untuk beranjak dari tempatku berdiri kini. Nadia bertanya padaku siapa Alifa. Aku menjelaskan padanya tentang Alifa. Sekedarnya tanpa menceritakan padanya kalau Alifa itulah yang sebenarnya menjadi impian Mas Yusuf.



Tanpa terasa kereta yang kami tunggu-tunggu sudah datang. Segera saja aku dan Nadia menjejalkan diri masuk kedalamnya. Alhamdulillah bisa masuk dengan selamat. Di sekeliling kami hampir semua berjilbab putih. Sangat bisa ditebak bahwa kami habis melakukan aksi munaoroh Palestine di Monas. Aku tak peduli dengan tatapan orang-orang lain pada kami. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai dirumah dan merebahkan tubuh ini diatas tempat tidur.


Biasanya sepulang aksi-aksi seperti ini, ada semangat baru yang terpatri dalam diriku untuk kembali bangkit merencanakan hari esok. Tapi sekarang, entah mengapa tiba-tiba semangat itu seakan pudar. Terhapus oleh bayang-bayang Mas Yusuf yang tadi aku lihat dan juga bayang-bayang Alifa yang kini mungkin tengah terbaring tak berdaya dirumah sakit. Tapi aku berharap Alifa pun sudah sembuh dan bisa bangkit merajut hari-hari barunya.


Menuju stasiun Tebet, alhamdulillah ada dua orang perempuan yang bangkit dari duduknya dan segera saja aku gantikan tempat duduknya bersama Nadia. Kulihat kesekeliling tidak ada orang yang mungkin lebih pantas mendapatkan tempat duduk itu.


Aku mengucap syukur karena akhirnya bisa duduk. Beberapa menit kemudian datang kehadapanku seorang perempuan tua yang mengais rezeki dengan cara menyapu lantai kereta dengan sapu kecilnya. Pakaiannya compang camping namun tetap berkerudung, menandakan bahwa dia seorang muslim. Di pinggangnya terdapat sebuah tas untuk menaruh uang hasil menyapu yang dengan ikhlas diberikan oleh penumpang kereta. Dia menadahkan tangan kanannya padaku. Hatiku tersentuh dan langsung ku keluarkan uang lima ribu rupiah dan kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan uang seribu rupiahnya untuk diberikan pada ibu itu. Wajahnya begitu berseri-seri saat menerima uang dariku dan Nadia. Dia pun mengucapkan terima kasih dan kembali menyapu bagian yang lain dari lantai kereta. Nadia mungkin heran melihatku memberikan ibu tadi uang lima ribu rupiah. Dia lantas menanyakan perihal tersebut padaku.


”Kamu memberikannya uang lima ribu Nda?” Tanyanya dengan memanggilku dengan sebutan ’Nda’. Ya, memang hanya Nadia yang memanggilku dengan kosakata terakhir dari namaku, ’Nda’.


”Apa menurutmu, uang lima ribu rupiah itu besar?” Tanyaku balik padanya. Nadia mengangguk.


”Menurutku itu terlalu besar Nda. Apa tidak ada uang kecil?”


”Ada. Tapi bagiku, uang lima ribu itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan semua nikmat yang telah Allah berikan padaku. Uang lima ribu itu hanya sebagai ungkapan rasa syukurku saja pada Allah swt karena paling tidak, Dia masih berkenan mengizinkan aku untuk dapat hidup enak dan nikmat tanpa harus bekerja keras seperti yang ibu tadi lakukan. Aku hanya ingin membagi rasa syukurku ini pada orang-orang yang memang pantas untuk menerimanya. Lagi pula dia bukan hanya mengemis, tapi juga secara tidak langsung dia sudah membantu kita dengan membersihkan lantai kereta ini. Benar kan Nad?” Jelasku pada Nadia. Nadia mengangguk lagi.


Sesaat lamanya kami diliputi kebisuan. Hanya angin yang berhembus dari jendela kereta yang berbisik-bisik membelai wajah kami. Tepat di Stasiun Tebet banyak penumpang yang turun, namun hanya sedikit orang yang naik. Alhasil kereta menjadi agak sedikit lengang. Banyak penumpang yang tadinya berdiri kini mendapat tempat duduk.


Mataku menangkap jelas dua orang laki-laki berpakaian rapi yang sepertinya tidak ada kerutan sedikitpun di baju dan jas mereka. Dengan masing-masing membawa tas agak besar mereka berdiri tak jauh dari pintu masuk kereta. Mereka terus berbincang-bincang sampai kereta mulai berjalan kembali. Namun kemudian mereka masuk agak kedalam sehingga tak terlihat lagi oleh pandanganku. Beberapa menit setelah kereta melaju di rel-nya, tiba-tiba terdengar suara bentakan hebat yang dilayangkan oleh seorang laki-laki.


”Hei! Perempuan tua jalang! Berani-beraninya kau mengotori sepatuku dengan sampah busukmu itu. Pantaslah tanganmu itu kuinjak karena kau telah mengganggu kami dengan sapu bututmu itu. Enyahlah kau dari hadapanku, dasar perempuan tak tahu diri!” Bentak salah seorang dari penumpang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku bangkit dari dudukku sesaat untuk mengetahui siapa yang berani berbuat kurang ajar pada seorang perempuan yang dibilang jalang olehnya.


Ternyata yang berbuat hal yang memalukan itu adalah salah seorang dari dua orang penumpang laki-laki yang berpakaian rapi dengan membawa tas agak besar yang tadi sempat aku perhatikan. Dan perempuan tua yang dihina olehnya adalah ibu tua yang tadi menadahkan tangannya padaku dan Nadia. Ibu tua itu duduk menangis sambil mengusapusap tangannya yang katanya terinjak oleh orang yang menghinanya tadi. Aku sungguh tak tega melihatnya.Orang yang berpakaian rapi yang satunya lagi mengusap-usap bahu temannya itu. Aku harap dia bisa menyadarkan temannya itu yang sudah berbuat kurang ajar pada ibu tua itu. Tapi ternyata dugaanku salah. Dengan setali tiga uang, orang yang satunya lagi malah ikut-ikutan mencaci ibu tua itu.


”Hei! Pergi kau dari sini. Seperak pun tak akan aku berikan uangku untukmu. Pergi kau! Dasar perempuan tua tak tahu diuntung. Mengganggu saja! Pergi kau!!” Ucapnya dengan nada yang lebih tinggi dari orang yang  sebelumnya.


Semua penumpang yang ada di dalam kereta mengarahkan pandangannya pada dua orang laki-laki dan ibu tua itu. Sungguh, aku jadi naik pitam. Aku sungguh tak tega melihat dua orang itu menghina ibu tua itu. Aku harus bertindak. Tapi apa? Semua orang yang ada dalam kereta tidak berani bertindak. Ini sudah keterlaluan. Ini sudah termasuk perbuatan zalim. Dan kezaliman harus segera di musnahkan.


Setelah kurasa tak ada yang cukup berani meluruskan kesalahan dua orang itu, akhirnya aku putuskan untuk membela ibu tua itu yang aku rasa dia tidak bersalah. ”Cukup-cukup!!” Teriakku sambil berjalan kearah ibu tua itu. Aku rasa semua yang ada disana sedang memperhatikanku. Sebenarnya aku sangat takut dan gemetar, tapi aku yakin aku bertindak yang memang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang melihat kemungkaran dan kezaliman. Dua laki-laki itu mengarahkan tatapan sinis padaku. Jujur, pada saat itu aku hanya bisa pasrah pada Allah swt.


”Tidak sepantasnya kalian sebagai seorang yang berpendidikan, berperilaku seperti itu. Saya yakin kalian ini pasti seorang yang berpendidikan bukan? Apakah pantas kalian berdua menghina ibu ini dengan hinaan yang sebenarnya sangat tidak patut keluar dari mulut kalian sebagai seorang yang berpendidikan? Apakah hanya karena sepatu bagus kalian yang mengkilap, kalian merasa pantas menghina ibu ini? Apakah hanya karena kemeja dan celana kalian yang licin, lalu kalian merasa benar untuk mencaci makinya?


Kalau hanya karena itu semua kalian merasa benar melakukan hal itu, maka sebenarnya yang hina bukan ibu ini, melainkan kalian” Ucapku dengan tegas sambil membantu ibu tua itu untuk berdiri.


”Apa maksud perkataanmu hei?” Tanya salah seorang dari dua laki-laki itu yang mengenakan kemeja berwarna biru tua.


”Apa kurang jelas apa yang saya ucapkan tadi? Kalau kalian merasa benar melakukan hal itu, maka kalian pun tak lebih tinggi dari seorang pecundang. Kalian menghina seorang ibu yang sudah tua renta ini tanpa sebuah rasa tak tega sedikitpun. Hanya karena dia tak sengaja mengotori sepatu kalian, lantas kalian menghinanya. Apakah harga diri kalian hanya sebatas sepatu kalian yang mengkilap itu?”


”Hei! Tutup mulutmu perempuan berjilbab. Tahu apa kau tentang harga diri. Hah?” Kali ini laki-laki yang mengenakan kemeja merah marun yang bertanya padaku.


”Apakah kalian tidak pernah berpikir sedikitpun tentang kehidupannya ketika mata kalian melihat dia mencari sesuap nasi dengan membersihkan gerbong kereta ini? Kemana hati nurani kalian tatkala tangan tua rentanya menyingkirkan sampah-sampah yang kita buang sembarangan disini? Saya tanya, apakah pekerjaannya itu mengganggu kalian? Apakah pekerjaannya itu menyusahkan kalian sehingga kalian harus marah padanya? Apakah kalian bisa menjawabnya? Hah?!”


Dua lelaki itu diam seribu bahasa sambil saling bertatap-tatapan. Aku masih terus saja merangkul ibu tua itu tanpa sedikitpun rasa geli dalam diriku karena pakaian yang dikenakannya sangat kotor.


”Apa yang dilakukannya itu adalah sebuah perbuatan yang terpuji. Kita yang membuang sampah sembarangan lalu dia yang membersihkannya, apa kita tidak malu? Sebagai seorang yang berpendidikan dan beragama, apakah pantas kalian menghina seseorang yang justru telah mengajarkan kita akan pentingnya kebersihan? Coba kalian pikir, kata-kata yang kalian lontarkan tadi bisa jadi sangat menyakitkan hatinya. Coba kalian perhatikan air mata yang mengalir di wajahnya. Itu menandakan bahwa hatinya sangat perih. Demi mendapatkan sesuap nasi untuk mengganjal perutnya hari ini, dia sampai rela menahan rasa sakit di hatinya karena ucapan kalian. Belum lagi tangannya yang terinjak oleh salah satu diantara kalian. Dia telah berjasa membersihkan tempat ini agar kita nyaman berada di dalamnya, tapi apa yang kalian berikan padanya? Sebuah cacian dan hinaan. Bahkan untuk mengeluarkan uang seribu dua ribu saja kalian tidak bersedia, kalian malah menghujaninya dengan cacian”


Itulah ucapan yang aku lontarkan pada dua lelaki yang kini hanya bisa diam mematung sambil menatap wajahku dan ibu tua yang kini ada di sampingku. Aku yakin semua orang tengah memandangi kami berempat. Aku kembali berkata pada dua lelaki itu.


”Saya yakin kalian seorang muslim. Terlihat dari gantungan tas kalian yang berlambangkan Allah. Apakah kalian tidak menyadari bahwa iman kalian belum sempurna?”


”Hei, jangan bicara sembarangan. Kami orang yang beriman dan hanya Allah Tuhan kami” Sahut lelaki berkemeja merah marun.


”Kalau kalian merasa benar-benar beriman, seharusnya kalian bisa lebih mencintai saudara kalian sesama muslim. Rasulullah bersabda, Belum sempurna iman seseorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Kalau memang kalian mencintai diri kalian, seharusnya kalian juga bisa mencintai saudara kalian sesama muslim sehingga kalian benar-benar bisa merasakan manisnya kesempurnaan iman itu. Saya yakin kalian pasti tidak mau memikul kebohongan dan dosa yang nyata bukan?”


”Apa maksudmu dengan kebohongan dan dosa yang nyata?” Kali ini laki-laki berkemeja biru tua yang bertanya.


”Allah berfirman dalam Qur’anNya, Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata . Saya harap, kalian bisa memahami ayat itu. Dalam ayat yang lain, Allah juga mengingatkan kita agar jangan mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari pada mereka yang mengolok-olok. Mohon diingat akan hal itu.


”Saya hanya ingin mengingatkan kalian agar tidak sombong. Apa yang kalian lakukan itu adalah perbuatan yang sombong dan tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Coba sedikit saja tundukkan hati kalian dan sedikit berpikir, bagaimana kalau semuanya berbalik dan kalian atau keluarga kalian yang sekarang ada di posisi ibu ini. Apa perasaan kalian saat ini? Saya yakin kalian tidak bisa menjawabnya karena jawaban itu sudah kalian telan mentah-mentah bersama hinaan-hinaan kaliantadi. Harusnya kalian bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan pada kalian untuk hidup enak sehingga kalian tidak perlu susah-susah mencari uang seperti yang ibu ini lakukan. Tolong kalian buang kesombongan kalian itu. Allah bisa marah karena pakaianNya kalian pakai. Kesombongan adalah dosa besar yang menyebabkan iblis di usir dari surga. Rasulullah bersabda, Orangorang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat bagaikan semut kecil dalam wujud manusia.


Mereka dikepung oleh kehinaan dari seluruh arah. Mereka digiring ke sebuah penjara dalam neraka Jahanam . Mereka ditutupi oleh api paling panas dan diberi minuman dari nanah penduduk neraka.


”Jadi sekali lagi saya mohon, buanglah rasa angkuh kalian. Jangan sampai jabatan dan kedudukan kalian saat ini membuat kalian gelap mata dan akhirnya terjebak dalam bayangbayang neraka jahannam yang tengah menanti orang-orang yang sombong. Saya

melakukan hal ini, karena saya tidak tega melihat ibu ini dicaci dan dihina. Sepatutnyalah kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah yang lebih dulu menempati dunia ini dibanding kita. Ibu ini telah mengajarkan kita akan banyak hal. Tentang kebersihan, kesabaran dalam menghadapi hidup, dan sebuah usaha dan kerja keras yang juga di iringi dengan ikhtiar, tawakal, dan rasa syukur. Betapa hidup ini harus dijalani tanpa mengenal kata putus asa. Itulah muslim sejati”


Dua lelaki berkemeja licin itu tampak berkaca-kaca. Raut wajahnya terlihat sekali kalau mereka sangat menyesal. Mereka saling bertatap-tatapan kemudian mereka mengaku sangat menyesal dengan tindakannya terhadap ibu tua itu. Setelah mengucapkan terima kasih padaku, mereka menyalami ibu tua yang kini ada disampingku sambil meminta maaf padanya dan memberinya dua lembar uang seratus ribuan. Ibu tua itu menghapus air matanya. Dia tersenyum padaku dan mengucapkan terima kasih. Aku balik tersenyum padanya dan terdengar tepukan tangan yang diiringi dengan pekikan takbir dari penumpang kereta yang hampir seluruhnya adalah mereka yang mengikuti aksi munashoroh Palestine di Monas.



Tepat di stasiun Pasar Minggu baru ibu tua itu turun. Aku kembali lagi pada Nadia. Ada beberapa orang mengucapkan selamat padaku. Nadia menyampaikan rasa salut dan kagumnya padaku. Aku sampaikan padanya bahwa sungguh saat aku mengucapkan katakata itu, yang terbersit dalam pikiranku adalah bagaimana caranya agar dua lelaki itu bisa mengerti arti kehidupan ini. Dan sejujurnya aku katakan bahwa sampai

saat ini hatiku masih berdegup kencang.


Di stasiun Pasar Minggu Nadia turun. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan tersenyum padanya. Kereta terus melaju dan terus membawaku beserta orang-orang yang ada dalam kereta menuju stasiun yang satu ke stasiun yang lain. Banyak yang turun namun tak sedikit pula yang terus memadati sesaknya kereta. Stasiun Lenteng Agung sebentar lagi. Aku bersiap-siap untuk turun. Setelah sampai aku pun turun. Aku keluar satsiun dan menghentikan angkot berwarna coklat. Tepat di sebuah sekolah rumah makan padang aku turun dan membayar angkotnya.


Dirumah kontrakanku yang mungil, aku mencurahkan segalanya. Teringat kembali semua kejadian yang aku alami hari ini. Aku yang melihat Mas Yusuf di Monas, pertemuanku dengan sahabatnya Alifa dan mengabarkan aku kalau Alifa saat ini tengah dirawat di rumah sakit karena suaminya meninggal, juga kejadian di kereta tadi yang membuatku semakin mengerti arti hidup ini.


Setelah istirahat sejenak, aku mandi dan shalat Ashar. Mas Yusuf belum juga pulang. Aku menyempatkan diri memasak sayur sawi dan menggoreng telur untuk makan malam Mas Yusuf. Tapi sampai Maghrib tiba, dia belum pulang-pulang juga. Masakanku sudah dingin. Sebenarnya aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang tidak semestinya. Akhirnya kuurungkan niatku.


Kulihat jam dan azan Isya berkumandang. Aku putuskan untuk segera shalat dan mengadu PadaNya. Aku ingin sekali menangis. Menangis dengan sungguh-sungguh di hadapan Rabbku. Menangis dengan air mata yang sejak tadi siang kutahan. Aku tak pernah sesedih ini. Rasanya sakit seperti teriris-iris pisau sembilu. Aku kecewa padanya.


Kucurahkan semua perasaanku dalam buku harianku. Diatas buku itu kugoreskan tinta hitamku. Berharap agar perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi lebih tenang. Hanya buku harianku yang selama ini selalu menemaniku melewati hari-hari yang baru aku jalani bersama Mas Yusuf. Suamiku yang aku tahu tidak pernah mencintaiku. Suamiku yang aku tahu berbohong padaku tadi siang. Remuk rasanya jiwa ini. Sejadi-jadinya aku menangis sambil terus mencurahkan perasaanku di dalam buku harianku.


Kurasa mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk tapi Mas Yusuf belum juga pulang. Tidak menelepon ataupun mengirimkan sms sekedar memberitahukan dimana dia sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak mengunci pintu depan. Mas Yusuf membawa kunci rumah yang satu lagi. Aku melihat kembali makanan yang tadi aku masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur kedalam penghangat nasi dan telurnya kubiarkan diatas meja makan yang kututup dengan tudung saji.


Aku kembali lagi kekamar dan bersiap untuk tidur. Namun baru sekitar 15 menit aku memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara pintu rumah dibuka. Aku yakin itu Mas Yusuf. Kudengar dia melangkah masuk kedalam kamar. Aku masih memejamkan mata sambil memiringkan tubuhku membelakanginya. Aku putuskan untuk tidak bangun dan menyambut kedatangannya. Aku kahawatir dia melihat mataku yang bengkak lalu dia menanyakan alasannya. Kumantapkan hati untuk tidur malam ini. Dan Mas Yusuf? Biarlah dia makan sendiri malam ini. Toh, nasi, sayur, dan telurnya sudah aku siapkan di meja makan. Biar bagaimana pun, aku hanya ingin menjadi istri yang baik dan berbakti pada suami.


Meskipun hatiku sakit. Tapi untuk malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan sendiri. Aku tak sanggup melihat wajahmu. Di luar, hujan turun secara perlahan mengantarkan deras yang tiada terkira. Dalam pejam malamku aku berdo’a,


”Ya Allah, ampuni segala dosa-dosaku dan dosa-dosa suamiku. Berikanlah kami kekuatan untuk bisa tetap bertahan di jalan IstiqomahMu. Aamiin”



Sisa-sisa hujan masih terus saja mengguyur kota Jakarta. Dan pagi ini pun hujan masih terus turun dengan derasnya. Sebagian kota Jakarta sudah ada yang tergenang banjir. Aku lihat di berita pagi yang menyebutkan bahwa sebagian kawasan di Jakarta sudah terendam oleh banjir setinggi 1-2 meter. Kebetulan hari ini adalah hari ahad, jadi tidak ada kegiatan yang mengharuskan aku keluar rumah. Dan aku putuskan untuk tetap dirumah dan kembali duduk di depan komputer untuk meneruskan tulisanku.


Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Kulihat Mas Yusuf sedang menonton televisi. Aku sedang memasak nasi goreng untuk sarapan paginya. Setelah itu kami sarapan bersama tanpa perbincangan yang berarti. Hanya suara penyiar berita di televisi yang mengisi kebisuan kami. Selesai sarapan aku memasak tumis kangkung dan menggoreng tempe. Tak lupa sambal goreng yang menjadi pelengkap menu masakan hari ini. Selesai masak pukul 08.45. Aku bergegas membersihkan tubuhku dari sisa asap masakan. Aku berencana meneruskan tulisanku setelah shalat dhuha nanti.


Hujan belum juga reda sementara petir terus saja bersahut-sahutan di langit sana. Aku masuk ke kamar dengan sebelumnya menatap Mas Yusuf yang tengah membaca koran di ruang tamu. Televisinya dimatikan, mungkin karena takut tersambar petir. Aku shalat dhuha di kamar, bermunajat sebentar, kemudian langsung menghidupkan komputerku.


Aku mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum Mas Yusuf memanggilku karena ada telepon dari pihak penerbit. Aku keluar dan menerima telepon itu. Tak berapa lama, aku menyudahinya. Dari pihak penerbit memintaku untuk membuat ucapan terima kasih karena novel ketigaku akan segera diterbitkan. Hatiku senang tiada terkira. Berkali-kali kuucap rasa syukur yang teramat dalam pada Allah swt. Di tengah derasnya hujan yang belum juga berhenti, aku mendapatkan berita yang menyejukkan hatiku.


Aku kembali ke kamar untuk meneruskan tulisanku. Kulihat kini Mas Yusuf tengah meringkuk di atas tempat tidur membelakangi diriku. Kuposisikan diriku di depan layar komputer. Baru beberapa baris aku mengetik, Mas Yusuf membalikkan tubuhnya dan bertanya padaku.


”Ada apa dari pihak penerbit menelepon?”


”Memberi tahu kalau novelku yang ketiga akan segera di proses” Jawabku singkat tanpa memalingkan wajahku dari layar komputer. Tiba-tiba aku berinisiatif membuatkan susu hangat untuk Mas Yusuf. Aku menoleh sesaat ke arahnya yang tengah bersandar di kepala tempat tidur sambil membaca buku. Aku beranjak keluar kamar untuk membuat susu hangat kemudian ku berikan padanya.


”Nih Mas. Susu hangat untuk menghangatkan tubuh” Kataku sambil menyodorkan segelas susu padanya. Dia menerimanya dan meminumnya sedikit demi sedikit. Aku masih duduk di pinggir tempat tidur sambil menatapnya. Aku begitu mencintainya. Apakah dia juga merasakan hal yang sama sepertiku? Kutepis segera pemikiranku. Aku kembali tertuju pada komputerku sebelum Mas Yusuf menggamit tanganku dan menyuruhku untuk tetap duduk.

Aku tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Dia beranjak dari tempat tidur lalu mematikan lampu yang ada di kamar dan menutup semua gorden di jendela kamar. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Apa yang hendak ia lakukan?


Dia berjalan ke arahku dan pada saat yang sama, dia mengajakku

bercinta. Yang aku ingat, terakhir kami memadu kasih.....3 minggu yang lalu. Hatiku kembali berdebar. Mataku menatap penuh tajam ke arah matanya.


Di tengah derasnya hujan, Mas Yusuf membawaku ke taman surga. Di pojok kamar sana, komputer belum sempat aku matikan. Aku masih belum mengerti kenapa Mas Yusuf mengajakku bercinta. Jujur, ini adalah kado terindah untuk novelku yang ketiga. Atau mungkin, ini adalah penebus rasa bersalahnya karena kemarin dia telah berbohong padaku. Entahlah

~~**♥ NEXT CHAPTER,,,,THE END ♥**~~”Assalamu’alaikum” Ucapnya dengan lembut.


”Wa’alaikumussalam” Jawabku sambil melemparkan senyum padanya.


”Afwan kamu Dinda kan, istrinya Yusuf?”


”Iya. Kamu pasti Alifa” Jawabku menimpalinya.


”Iya aku Alifa. Kamu masih ingat aku? Bukankah kita belum pernah berkenalan?”


”Bagaimana mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu datang ke pernikahanku”.


”Oh, syukurlah kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau tak akan mengenaliku”


”Tenang saja. Aku selalu berusaha untuk mengingat orang-orang yang pernah aku kenal. Oh iya, kamu ikut acara ini?”


”Iya. Kamu sendirian? Yusufnya mana?”


”Mungkin sebentar lagi akan sampai. Tadi kami janjian untuk bertemu disini”


”Oh begitu” Sahut Alifa datar. Aku mengangguk sambil tersenyum.


”Oh iya hampir lupa” Tukasnya padaku. Dia mengambil sesuatu dari tasnya.


”Ini” Ucapnya sambil memberikan sebuah undangan pernikahan berwarna biru tua padaku. Aku menerimanya.


”Ini undangan pernikahanku. Datang ya?” Sambungnya. Aku menatapnya sesaat lalu kubuka undangan itu. Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah dengan Guntur Maulana.


”Selamat ya?” Ucapku padanya. Dia mengangguk.


”Kalau begitu aku ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang bersama suamimu di hari pernikahanku nanti” Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.


”Insya Allah nanti aku sampaikan” Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari hadapanku. Kulihat lagi jam tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi Mas Yusuf belum juga datang. Kemana dia?


Tak lama berselang aku mendapati seorang ikhwan yang dulu pernah aku lihat di book fair. Dia temannya Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya. Aku melihatnya tepat ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan menghampiriku.


”Assalamu’alaikum. Yusufnya kemana ukh ?” Tanyanya padaku.


Aku menggeleng, ”Wa’alaikumusslam. Belum datang”.


”Oh...Bukannya bareng?”


Aku menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku kearah jalan. Siapa tahu Mas Yusuf sudah datang.


”Tadi sih ana ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau pergi jenguk Mas Bambang yang lagi sakit. Tapi dia nggak bilang mau datang kesini” Jelasnya.


”Memang Mas Bambang sakit apa? Antum tahu kapan dia pergi jenguk Mas Bambang?” Tanyaku.


”Tadi pagi kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi tadi dia tidak mengajar. Kayaknya abis Ashar tadi deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang, pulang dari rumah Mas Bambang dia mau langsung kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi nggak tahu juga sih”


Aku terdiam sejenak.


”Randi!! Ayo!” Teriak salah seorang memanggil ikhwan yang kini ada di hadapanku yang kutahu bernama Randi.


”Afwan. Ana duluan. Asslamu’alaikum” Ucapnya lalu melangkah menghampiri seseorang yang tadi memanggilnya.


”Wa’alaikumussalam” Sahutku.


Pikiranku semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan janjinya? Apa Mas Yusuf lupa kalau aku sekarang tengah menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Engkau mendatangkan Randi kesini untuk memberikan kabar yang membuatku bimbang? Sesaat lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan telah membasahi pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan kubuka untuk melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku menunggunya disini, pasti aku sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau saja aku tidak berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat ini aku sudah berada di dalam tanpa harus berdiri disini ditemani hujan yang turun semakin deras.


Langit sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan berucap bismillah aku melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak menunaikan shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada Mas Yusuf.


Setelah shalat Maghrib, aku kembali lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti datang. Hujan sudah mulai reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang membasahi jilbabku. Aku sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi Mas Yusuf kembali. Tapi kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengiriminya pesan yang isinya:


Mas, bkn mksudku ingin mengingkari janjiku u/ menunggumu disini smp kau dtg. Tp sungguh, aku sdh tk kuat lagi berdiri disini u/ menunggumu. Jd aku hrp, kau mau mengizinkanku u/ plg skrg.


Kukirim segera. Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah selalu ada bagi hambahambaNya yang bersabar. Tak lama kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas Yusuf. Ternyata Isinya,


Aku segera kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji. Afwan


Tiba-tiba air mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku berusaha untuk meluruskan pikiranku. Aku berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik tentang Mas Yusuf, tapi kenapa air mata ini masih saja membasahi wajahku? Sekuat tenaga aku yakinkan diriku kalau Mas Yusuf hanya terlupa. Dan bukan karena dia tidak mencintaiku makanya dia lupa pada janjinya.


Seperempat jam aku menunggunya akhirnya dia datang juga. Entah bagaimana lagi raut wajahku saat ini. Yang pasti aku berusaha untuk tetap tersenyum melihat kedatangannya.

”Maaf ya, maaf banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu kalau Mas Bambang itu sakit. Tadi pagi kakinya tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi, jadi tadi dia tidak mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengjak aku untuk menjenguknya. Kamu tidak marah kan?” Cerocosnya begitu dia sampai di hadapanku.


Aku memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab sedikitpun. Aku bingung harus menjawab apa. Aku memang marah dan kesal padanya, tapi aku juga tidak mau dia tahu kalau aku marah padanya. Aku putuskan untuk menggeleng sambil berucap, ”Iya” ”Maksudnya?” Tanyanya tidak mengerti.


”Coba kamu pikirkan kembali apa jawabanku barusan. Kalau kau mengerti, pasti kau tahu apa maksud dari jawabanku” Sahutku dengan nada datar. Aku sudah lelah. Dia terdiam. Acara di Bumiwiyata sudah selesai. Orang-orang sudah berhamburan keluar. Aku teringat Alifa yang memberikan undangan pernikahnnya padaku. Aku segera mengambilnya dari dalam tas dan memberikannya pada Mas Yusuf.


”Nih” Ucapku sambil menyodorkan undangannya.


”Apa ini?” Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.

”Undangan pernikahan Alifa” Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak lama dia berucap datar.


”Mungkin inilah yang terbaik”


Aku hanya diam. Dia mengembalikan undangannya padaku dan menyuruhku naik ke motornya. Sambil naik aku berkata,


”Sebaiknya kita tidak usah kerumah ibu. Tidak enak rasanya datang kesana dengan pakaianku yang basah. Lebih baik besok saja kita kesananya”


”Baiklah” Sahutnya.


Motor yang kami tumpangi segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Sepanjang jalan kami hanya diam sambil mengintrospeksi diri masing-masing. Adakah surga yang tadi aku impi-impikan bisa aku cium baunya? Adakah surga yang telah Allah janjikan itu, bisa juga kami rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang dapat menentukan.


Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan segalanya dengan jelas. Aku hanya bisa berdo’a dalam diamku.



Hari pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas Yusuf pergi kesana bersama-sama. Setelah kemarin aku menyerahkan revisi novelku yang ketiga pada pihak penerbit, aku langsung membeli kado pernikahan untuk Alifa.


Mas Yusuf terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia masih menyimpan nama Alifa dalam hatinya? Entahlah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Didepan sebuah rumah berbentuk seerhana, Mas Yusuf menaruh motornya dengan beberapa motor lainnya yang sudah terparkir lebih dulu disana. Setelah menulis nama kami di buku tamu dan memberikan bingkisanku pada dua orang wanita berjilbab ayu yang duduk disana, kami masuk kedalam menemui Alifa dan suaminya.


Senyuman penuh kehangatan terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia benarbenar tidak bisa memungkiri kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena hari ini dia sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia karena hari ini adalah hari pernikahannya, dan bahagia karena dia dan suaminya, saling mencintai.


Tapi Alifa tidak sadar dan tidak menyadari, kalau ada seseorang yang hatinya begitu hancur melihat dia bersanding dengan orang lain. Dia adalah suamiku sendiri. Sebagai seseorang yang sudah hidup bersamanya selama lima bulan lebih, aku sudah bisa melihat ada kemurungan lain yang aku tangkap di wajahnya yang sendu. Mungkin dia berpikir, ’seharusnya aku yang ada di pelaminan itu dan bukan lelaki yang bernama Guntur itu’. Astaghfirullah!! Aku tak mau su’udzan pada suamiku. Kembali kuluruskan niatku. Aku memasuki halaman rumahnya yang sudah di penuhi oleh para tamu. Undangan laki-laki dan undangan wanita di pisah oleh hijab.


Aku bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan erat seraya mengucapkan kalimat yang sama seperti yang pernah ia ucapkan padaku saat menikah.


”Barakallah ya Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah”


”Syukran ya?” Ucapnya.


Aku mengangguk dan tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa berucap sepatah katapun padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami beranjak pergi, Alifa meminta kami untuk berfoto bersama. Aku berdiri disamping Alifa dan Mas Yusuf berdiri di samping Guntur. Tinggi badanku hampir sama dengan Alifa dan sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda dengan Guntur.


Setelah berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku mengambil hidangan di tempat akhwat dan Mas Yusuf mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah menghabiskan makanan kami, Mas Yusuf memberikan isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan. Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun menurutinya.


Sebelum pulang, sekali lagi kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu bahagia

Tiga bulan telah berlalu dari hari itu. Dan malam ini, aku kembali meneteskan air mataku. Suami yang aku bangga-banggakan selama ini ternyata berbohong padaku. Kenapa seseoang yang taat beragama,rajin beribadah dan membaca Al-Qur’an, serta seorang yang terbiyah seperti dia bisa membohongiku? Aku tak pernah habis pikir. Tadi pagi dia mengatakan padaku bahwa dia tidak bisa ikut hadir dalam acara munasoroh Palestine di Monas. Tapi ternyata, diantara ribuan, bahkan puluhan ribu ikhwan yang datang pada acara itu, kedua mataku menangkap sosok seorang ikhwan yang sudah lebih dari 8 bulan ini hidup bersamaku. Aku melihat suamiku tengah mengibarkan bendera Palestina, lengkap dengan topi dan ikat kepalanya yang bertuliskan ’Save Palestine’. Dia mengibarkan bendera itu dengan penuh semangat dan ghirah yang selalu membakar jiwa.


Entah mengapa Allah swt menampakkannya di penglihatanku di tengah kerumunan orangorang itu. Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku sadar dia membohongiku. Berkali-kali aku yakinkan diriku bahwa orang yang aku lihat itu bukan suamiku. Tetapi ketika kutatap sekali lagi wajahnya yang samar-samar kulihat dari kejauhan dan dari kerumunan orang, aku mantapkan hati bahwa dia memang suamiku. Ikhwan itu memang benar-benar Mas Yusufku. Melihat hal itu, langsung saja aku palingkan wajahku dan mengajak Nadia, sahabatku untuk beranjak pergi dari awal tempatku berdiri. Aku tidak mau Nadia sampai tahu kalau ternyata Mas Yusuf menjadi salah satu pengibar bendera Palestina disana. Sebab dari awal aku sudah terlanjur bilang padanya bahwa Mas Yusuf tidak bisa hadir karena ada urusan di sekolahnya. Nadia pun percaya. Dan aku tidak ingin kepercayaan Nadia itu berubah menjadi ketidakpercayaan padaku atau pun suami, karena dia telah melihat Mas Yusuf disana.


Dengan gontai kulangkahkan kakiku keluar dari kerumunan orang-orang yang sedang bersemangat itu. Kuajak serta Nadia dari sana dengan alasan aku lelah dan ingin mencari minum pelepas dahaga. Dan kebetulan saja, waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, menandakan bahwa sebentar lagi azan zuhur akan berkumandang. Segera saja kuajak Nadia untuk pergi dari Monas menuju masjid terdekat, Masjid Istiqlal. Disana sudah banyak ikhwan / akhwat yang berpeluh dan berkeringat tengah membanjiri Masjid Istiqlal untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan Nadia mencari tempat wudhu wanita dan mengambil wudhu disana. Cukup mengantri memang, tapi akhirnya aku dan Nadia bisa mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur berkumandang.


Kuselonjorkan kakiku dan kusandarkan punggungku kesalah satu tiang masjid ketika aku dan Nadia sudah mendapatkan posisi yang cukup nyaman untuk shalat. Sambil menunggu azan berkumandang, kunikmati sebotol air mineral yang tadi aku beli sambari angin sepoi-sepoi dan semriwing membelai-belai wajahku. Diwaktu yang sama, kulihat Nadia juga melakukan hal yang sama sepertiku. Kulemparkan senyum padanya lalu kuarahkan kembali pandanganku lurus kedepan. Angin sepoi-sepoi terus saja membelai lembut wajahku ketika tiba-tiba saja kedua mataku basah dengan air mata. Aku teringat kembali dengan Mas Yusuf. Kenapa dia berbohong padaku? Apa dia tidak mau pergi keacara itu bersamaku sehingga dia harus berdusta? Atau apa? Sekuat tenaga kuluruskan pikiranku dan sebenarnya aku tak ingin bersu’udzan padanya. Tapi..... Seketika air mataku jatuh membasahi wajahku. Aku tersadar. Ternyata azan Zuhur


tengah berkumandang. Aku segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat Zuhur bersama Nadia dengan terlebih dahulu melaksanakan sunnah rawatib 2 rakaat. Nadia menjadi imam dan aku menjadi makmum. Setelah shalat Zuhur kami melaksanakan shalat sunnah rawatib lagi 2 rakaat lalu kembali istirahat sebentar. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, kami memutuskan untuk pulang. Diperjalanan Nadia banyak sekali bercerita tentang hal-hal yang lucu. Aku ingin sekali tertawa tapi tidak bisa.


Bayangbayangku tentang Mas Yusuf kembali mengusik pikiranku. Hal itu mengalahkan semua rasa dan pemikiranku yang kala itu tengah mendengarkan cerita Nadia. Aku hanya bisa tersenyum kecil tanpa bisa berkomentar apa-apa. Dan ketika Nadia bertanya padaku tentang sikapku, aku hanya menggeleng dan menjawab, ”Nggak. Aku enggak kenapa-kenapa. Terus bagaimana kelanjutannya?”


Lalu Nadia pun melanjutkan ceritanya. Aku hanya mendengarkannya dengan pikiran yang entah kemana perginya. Nadia mengajakku mampir sebentar ke warung somay yang ada di Stasiun Gondangdia. Aku menurutinya. Aku memesan satu porsi tapi tidak habis.Nadia membayarnya dan aku pun memberikan uang sepuluh ribuan padanya. Awalnya dia menolak tapi kupaksa dan akhirnya dia menerimanya.


Kami naik keatas dan membeli tiket. Nadia yang membelinya. Jurusan Lenteng Agung dan Pasar Minggu. Di Stasiun Gondangdia sudah banyak sekali orang yang beratribut Palestina. Entah bajunya, kerudungnya, atau topi dan pin yang mereka kenakan. Memang, semangat saudara-saudara kita di Palestina tidak pernah surut untuk melawan penjajah Israel, sampai mereka takluk dan menyatakan menyerah pada rakyat Palestina.


Ya...memang masa-masa itu belum tahu kapan tapi yang pasti saat-saat itu akan ada masanya. Dan aku yakin Allah pasti akan menepati janjiNya. Sebagaimana dijelaskan dalam wahyuNya, surat Al-Baqarah ayat 85-86.


”Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari kamu kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian alkitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orangorang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong”


Dari jarak beberapa meter aku melihat seorang akhwat yang sepertinya aku kenal. Dia sedang berbincang dengan beberapa teman akhwatnya sesama aktivis. Aku berusaha mengingatnya sekuat tenaga. Tapi siapa dia? Alhamdulillah setelah berpikir keras, aku mengingatnya. Dia adalah sahabatnya Alifa. Dia pernah datang bersama Alifa ke pesta pernikahanku. Ingin sekali rasanya aku mendekatinya dan menanyakan kabar Alifa padanya. Dengan langkah yang pasti, aku mengajak Nadia untuk menghampirinya.


”Assalamu’alaikum” Ucapku padanya.


”Wa’alaikummussalam” Sahutnya bersama dengan beberapa temannya.


”Afwan, ana mau tanya, apa anti temannya Alifa?” Tanyaku sambil mengarahkan pandanganku pada orang yang kumaksud.


”Oh, iya ana temannya Alifa. Ana Ririn. Afwan, anti istrinya akh Yusuf kan?”


”Iya. Ehm, ana mau tanya, bagaimana kabar Alifa sekarang? Apa dia tidak ikut munasoroh? Atau mungkin dia pergi dengan suaminya ya?”


Wajah ukhti yang ada dihadapanku terlihat muram.


”Ada apa ya Rin?” Tanyaku langsung padanya.


”Ehm...keadaan Alifa sekarang tidak begitu baik” Jawabnya dengan nada sedih.


”Memang dia kenapa?”


Ririn mulai menjelaskan.


”Seminggu setelah pernikahannya, suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Mobil yang dikendarainya mogok dan terjebak di rel kereta api. Dan pada saat yang bersamaan, kereta datang melintas dan Guntur....” Ririn memutus perkataannya. Aku hanya bisa diam sambil meringis mendengarnya. Dalam hati aku terus beristighfar.


”Lalu keadaan Alifa sekarang bagaimana?” Tanyaku setelah tadi aku sempat terkejut mendengarnya.


”Keadaan terakhir yang aku tahu, dia kini terbaring di rumah sakit karena stres. Awalnya dia bisa menerima kenyataan ini, tapi makin kesini, kondisinya semakin parah. Dia tidak mau makan dan minum, sampai akhirnya sakit. Dia terus memikirkan kematian suaminya yang sangat tragis. Dan pada akhirnya dia harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi tubuhnya semakin lemah dan parah” Jelas Ririn. Aku diam sejenak lalu bertanya di rumah sakit mana Alifa dirawat. Setelah Ririn memberitahukan dimana Alifa dirawat, aku segera meminta diri untuk beranjak dari tempatku berdiri kini. Nadia bertanya padaku siapa Alifa. Aku menjelaskan padanya tentang Alifa. Sekedarnya tanpa menceritakan padanya kalau Alifa itulah yang sebenarnya menjadi impian Mas Yusuf.



Tanpa terasa kereta yang kami tunggu-tunggu sudah datang. Segera saja aku dan Nadia menjejalkan diri masuk kedalamnya. Alhamdulillah bisa masuk dengan selamat. Di sekeliling kami hampir semua berjilbab putih. Sangat bisa ditebak bahwa kami habis melakukan aksi munaoroh Palestine di Monas. Aku tak peduli dengan tatapan orang-orang lain pada kami. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai dirumah dan merebahkan tubuh ini diatas tempat tidur.


Biasanya sepulang aksi-aksi seperti ini, ada semangat baru yang terpatri dalam diriku untuk kembali bangkit merencanakan hari esok. Tapi sekarang, entah mengapa tiba-tiba semangat itu seakan pudar. Terhapus oleh bayang-bayang Mas Yusuf yang tadi aku lihat dan juga bayang-bayang Alifa yang kini mungkin tengah terbaring tak berdaya dirumah sakit. Tapi aku berharap Alifa pun sudah sembuh dan bisa bangkit merajut hari-hari barunya.


Menuju stasiun Tebet, alhamdulillah ada dua orang perempuan yang bangkit dari duduknya dan segera saja aku gantikan tempat duduknya bersama Nadia. Kulihat kesekeliling tidak ada orang yang mungkin lebih pantas mendapatkan tempat duduk itu.


Aku mengucap syukur karena akhirnya bisa duduk. Beberapa menit kemudian datang kehadapanku seorang perempuan tua yang mengais rezeki dengan cara menyapu lantai kereta dengan sapu kecilnya. Pakaiannya compang camping namun tetap berkerudung, menandakan bahwa dia seorang muslim. Di pinggangnya terdapat sebuah tas untuk menaruh uang hasil menyapu yang dengan ikhlas diberikan oleh penumpang kereta. Dia menadahkan tangan kanannya padaku. Hatiku tersentuh dan langsung ku keluarkan uang lima ribu rupiah dan kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan uang seribu rupiahnya untuk diberikan pada ibu itu. Wajahnya begitu berseri-seri saat menerima uang dariku dan Nadia. Dia pun mengucapkan terima kasih dan kembali menyapu bagian yang lain dari lantai kereta. Nadia mungkin heran melihatku memberikan ibu tadi uang lima ribu rupiah. Dia lantas menanyakan perihal tersebut padaku.


”Kamu memberikannya uang lima ribu Nda?” Tanyanya dengan memanggilku dengan sebutan ’Nda’. Ya, memang hanya Nadia yang memanggilku dengan kosakata terakhir dari namaku, ’Nda’.


”Apa menurutmu, uang lima ribu rupiah itu besar?” Tanyaku balik padanya. Nadia mengangguk.


”Menurutku itu terlalu besar Nda. Apa tidak ada uang kecil?”


”Ada. Tapi bagiku, uang lima ribu itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan semua nikmat yang telah Allah berikan padaku. Uang lima ribu itu hanya sebagai ungkapan rasa syukurku saja pada Allah swt karena paling tidak, Dia masih berkenan mengizinkan aku untuk dapat hidup enak dan nikmat tanpa harus bekerja keras seperti yang ibu tadi lakukan. Aku hanya ingin membagi rasa syukurku ini pada orang-orang yang memang pantas untuk menerimanya. Lagi pula dia bukan hanya mengemis, tapi juga secara tidak langsung dia sudah membantu kita dengan membersihkan lantai kereta ini. Benar kan Nad?” Jelasku pada Nadia. Nadia mengangguk lagi.


Sesaat lamanya kami diliputi kebisuan. Hanya angin yang berhembus dari jendela kereta yang berbisik-bisik membelai wajah kami. Tepat di Stasiun Tebet banyak penumpang yang turun, namun hanya sedikit orang yang naik. Alhasil kereta menjadi agak sedikit lengang. Banyak penumpang yang tadinya berdiri kini mendapat tempat duduk.


Mataku menangkap jelas dua orang laki-laki berpakaian rapi yang sepertinya tidak ada kerutan sedikitpun di baju dan jas mereka. Dengan masing-masing membawa tas agak besar mereka berdiri tak jauh dari pintu masuk kereta. Mereka terus berbincang-bincang sampai kereta mulai berjalan kembali. Namun kemudian mereka masuk agak kedalam sehingga tak terlihat lagi oleh pandanganku. Beberapa menit setelah kereta melaju di rel-nya, tiba-tiba terdengar suara bentakan hebat yang dilayangkan oleh seorang laki-laki.


”Hei! Perempuan tua jalang! Berani-beraninya kau mengotori sepatuku dengan sampah busukmu itu. Pantaslah tanganmu itu kuinjak karena kau telah mengganggu kami dengan sapu bututmu itu. Enyahlah kau dari hadapanku, dasar perempuan tak tahu diri!” Bentak salah seorang dari penumpang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku bangkit dari dudukku sesaat untuk mengetahui siapa yang berani berbuat kurang ajar pada seorang perempuan yang dibilang jalang olehnya.


Ternyata yang berbuat hal yang memalukan itu adalah salah seorang dari dua orang penumpang laki-laki yang berpakaian rapi dengan membawa tas agak besar yang tadi sempat aku perhatikan. Dan perempuan tua yang dihina olehnya adalah ibu tua yang tadi menadahkan tangannya padaku dan Nadia. Ibu tua itu duduk menangis sambil mengusapusap tangannya yang katanya terinjak oleh orang yang menghinanya tadi. Aku sungguh tak tega melihatnya.Orang yang berpakaian rapi yang satunya lagi mengusap-usap bahu temannya itu. Aku harap dia bisa menyadarkan temannya itu yang sudah berbuat kurang ajar pada ibu tua itu. Tapi ternyata dugaanku salah. Dengan setali tiga uang, orang yang satunya lagi malah ikut-ikutan mencaci ibu tua itu.


”Hei! Pergi kau dari sini. Seperak pun tak akan aku berikan uangku untukmu. Pergi kau! Dasar perempuan tua tak tahu diuntung. Mengganggu saja! Pergi kau!!” Ucapnya dengan nada yang lebih tinggi dari orang yang  sebelumnya.


Semua penumpang yang ada di dalam kereta mengarahkan pandangannya pada dua orang laki-laki dan ibu tua itu. Sungguh, aku jadi naik pitam. Aku sungguh tak tega melihat dua orang itu menghina ibu tua itu. Aku harus bertindak. Tapi apa? Semua orang yang ada dalam kereta tidak berani bertindak. Ini sudah keterlaluan. Ini sudah termasuk perbuatan zalim. Dan kezaliman harus segera di musnahkan.


Setelah kurasa tak ada yang cukup berani meluruskan kesalahan dua orang itu, akhirnya aku putuskan untuk membela ibu tua itu yang aku rasa dia tidak bersalah. ”Cukup-cukup!!” Teriakku sambil berjalan kearah ibu tua itu. Aku rasa semua yang ada disana sedang memperhatikanku. Sebenarnya aku sangat takut dan gemetar, tapi aku yakin aku bertindak yang memang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang melihat kemungkaran dan kezaliman. Dua laki-laki itu mengarahkan tatapan sinis padaku. Jujur, pada saat itu aku hanya bisa pasrah pada Allah swt.


”Tidak sepantasnya kalian sebagai seorang yang berpendidikan, berperilaku seperti itu. Saya yakin kalian ini pasti seorang yang berpendidikan bukan? Apakah pantas kalian berdua menghina ibu ini dengan hinaan yang sebenarnya sangat tidak patut keluar dari mulut kalian sebagai seorang yang berpendidikan? Apakah hanya karena sepatu bagus kalian yang mengkilap, kalian merasa pantas menghina ibu ini? Apakah hanya karena kemeja dan celana kalian yang licin, lalu kalian merasa benar untuk mencaci makinya?


Kalau hanya karena itu semua kalian merasa benar melakukan hal itu, maka sebenarnya yang hina bukan ibu ini, melainkan kalian” Ucapku dengan tegas sambil membantu ibu tua itu untuk berdiri.


”Apa maksud perkataanmu hei?” Tanya salah seorang dari dua laki-laki itu yang mengenakan kemeja berwarna biru tua.


”Apa kurang jelas apa yang saya ucapkan tadi? Kalau kalian merasa benar melakukan hal itu, maka kalian pun tak lebih tinggi dari seorang pecundang. Kalian menghina seorang ibu yang sudah tua renta ini tanpa sebuah rasa tak tega sedikitpun. Hanya karena dia tak sengaja mengotori sepatu kalian, lantas kalian menghinanya. Apakah harga diri kalian hanya sebatas sepatu kalian yang mengkilap itu?”


”Hei! Tutup mulutmu perempuan berjilbab. Tahu apa kau tentang harga diri. Hah?” Kali ini laki-laki yang mengenakan kemeja merah marun yang bertanya padaku.


”Apakah kalian tidak pernah berpikir sedikitpun tentang kehidupannya ketika mata kalian melihat dia mencari sesuap nasi dengan membersihkan gerbong kereta ini? Kemana hati nurani kalian tatkala tangan tua rentanya menyingkirkan sampah-sampah yang kita buang sembarangan disini? Saya tanya, apakah pekerjaannya itu mengganggu kalian? Apakah pekerjaannya itu menyusahkan kalian sehingga kalian harus marah padanya? Apakah kalian bisa menjawabnya? Hah?!”


Dua lelaki itu diam seribu bahasa sambil saling bertatap-tatapan. Aku masih terus saja merangkul ibu tua itu tanpa sedikitpun rasa geli dalam diriku karena pakaian yang dikenakannya sangat kotor.


”Apa yang dilakukannya itu adalah sebuah perbuatan yang terpuji. Kita yang membuang sampah sembarangan lalu dia yang membersihkannya, apa kita tidak malu? Sebagai seorang yang berpendidikan dan beragama, apakah pantas kalian menghina seseorang yang justru telah mengajarkan kita akan pentingnya kebersihan? Coba kalian pikir, kata-kata yang kalian lontarkan tadi bisa jadi sangat menyakitkan hatinya. Coba kalian perhatikan air mata yang mengalir di wajahnya. Itu menandakan bahwa hatinya sangat perih. Demi mendapatkan sesuap nasi untuk mengganjal perutnya hari ini, dia sampai rela menahan rasa sakit di hatinya karena ucapan kalian. Belum lagi tangannya yang terinjak oleh salah satu diantara kalian. Dia telah berjasa membersihkan tempat ini agar kita nyaman berada di dalamnya, tapi apa yang kalian berikan padanya? Sebuah cacian dan hinaan. Bahkan untuk mengeluarkan uang seribu dua ribu saja kalian tidak bersedia, kalian malah menghujaninya dengan cacian”


Itulah ucapan yang aku lontarkan pada dua lelaki yang kini hanya bisa diam mematung sambil menatap wajahku dan ibu tua yang kini ada di sampingku. Aku yakin semua orang tengah memandangi kami berempat. Aku kembali berkata pada dua lelaki itu.


”Saya yakin kalian seorang muslim. Terlihat dari gantungan tas kalian yang berlambangkan Allah. Apakah kalian tidak menyadari bahwa iman kalian belum sempurna?”


”Hei, jangan bicara sembarangan. Kami orang yang beriman dan hanya Allah Tuhan kami” Sahut lelaki berkemeja merah marun.


”Kalau kalian merasa benar-benar beriman, seharusnya kalian bisa lebih mencintai saudara kalian sesama muslim. Rasulullah bersabda, Belum sempurna iman seseorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Kalau memang kalian mencintai diri kalian, seharusnya kalian juga bisa mencintai saudara kalian sesama muslim sehingga kalian benar-benar bisa merasakan manisnya kesempurnaan iman itu. Saya yakin kalian pasti tidak mau memikul kebohongan dan dosa yang nyata bukan?”


”Apa maksudmu dengan kebohongan dan dosa yang nyata?” Kali ini laki-laki berkemeja biru tua yang bertanya.


”Allah berfirman dalam Qur’anNya, Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata . Saya harap, kalian bisa memahami ayat itu. Dalam ayat yang lain, Allah juga mengingatkan kita agar jangan mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari pada mereka yang mengolok-olok. Mohon diingat akan hal itu.


”Saya hanya ingin mengingatkan kalian agar tidak sombong. Apa yang kalian lakukan itu adalah perbuatan yang sombong dan tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Coba sedikit saja tundukkan hati kalian dan sedikit berpikir, bagaimana kalau semuanya berbalik dan kalian atau keluarga kalian yang sekarang ada di posisi ibu ini. Apa perasaan kalian saat ini? Saya yakin kalian tidak bisa menjawabnya karena jawaban itu sudah kalian telan mentah-mentah bersama hinaan-hinaan kaliantadi. Harusnya kalian bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan pada kalian untuk hidup enak sehingga kalian tidak perlu susah-susah mencari uang seperti yang ibu ini lakukan. Tolong kalian buang kesombongan kalian itu. Allah bisa marah karena pakaianNya kalian pakai. Kesombongan adalah dosa besar yang menyebabkan iblis di usir dari surga. Rasulullah bersabda, Orangorang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat bagaikan semut kecil dalam wujud manusia.


Mereka dikepung oleh kehinaan dari seluruh arah. Mereka digiring ke sebuah penjara dalam neraka Jahanam . Mereka ditutupi oleh api paling panas dan diberi minuman dari nanah penduduk neraka.


”Jadi sekali lagi saya mohon, buanglah rasa angkuh kalian. Jangan sampai jabatan dan kedudukan kalian saat ini membuat kalian gelap mata dan akhirnya terjebak dalam bayangbayang neraka jahannam yang tengah menanti orang-orang yang sombong. Saya

melakukan hal ini, karena saya tidak tega melihat ibu ini dicaci dan dihina. Sepatutnyalah kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah yang lebih dulu menempati dunia ini dibanding kita. Ibu ini telah mengajarkan kita akan banyak hal. Tentang kebersihan, kesabaran dalam menghadapi hidup, dan sebuah usaha dan kerja keras yang juga di iringi dengan ikhtiar, tawakal, dan rasa syukur. Betapa hidup ini harus dijalani tanpa mengenal kata putus asa. Itulah muslim sejati”


Dua lelaki berkemeja licin itu tampak berkaca-kaca. Raut wajahnya terlihat sekali kalau mereka sangat menyesal. Mereka saling bertatap-tatapan kemudian mereka mengaku sangat menyesal dengan tindakannya terhadap ibu tua itu. Setelah mengucapkan terima kasih padaku, mereka menyalami ibu tua yang kini ada disampingku sambil meminta maaf padanya dan memberinya dua lembar uang seratus ribuan. Ibu tua itu menghapus air matanya. Dia tersenyum padaku dan mengucapkan terima kasih. Aku balik tersenyum padanya dan terdengar tepukan tangan yang diiringi dengan pekikan takbir dari penumpang kereta yang hampir seluruhnya adalah mereka yang mengikuti aksi munashoroh Palestine di Monas.



Tepat di stasiun Pasar Minggu baru ibu tua itu turun. Aku kembali lagi pada Nadia. Ada beberapa orang mengucapkan selamat padaku. Nadia menyampaikan rasa salut dan kagumnya padaku. Aku sampaikan padanya bahwa sungguh saat aku mengucapkan katakata itu, yang terbersit dalam pikiranku adalah bagaimana caranya agar dua lelaki itu bisa mengerti arti kehidupan ini. Dan sejujurnya aku katakan bahwa sampai

saat ini hatiku masih berdegup kencang.


Di stasiun Pasar Minggu Nadia turun. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan tersenyum padanya. Kereta terus melaju dan terus membawaku beserta orang-orang yang ada dalam kereta menuju stasiun yang satu ke stasiun yang lain. Banyak yang turun namun tak sedikit pula yang terus memadati sesaknya kereta. Stasiun Lenteng Agung sebentar lagi. Aku bersiap-siap untuk turun. Setelah sampai aku pun turun. Aku keluar satsiun dan menghentikan angkot berwarna coklat. Tepat di sebuah sekolah rumah makan padang aku turun dan membayar angkotnya.


Dirumah kontrakanku yang mungil, aku mencurahkan segalanya. Teringat kembali semua kejadian yang aku alami hari ini. Aku yang melihat Mas Yusuf di Monas, pertemuanku dengan sahabatnya Alifa dan mengabarkan aku kalau Alifa saat ini tengah dirawat di rumah sakit karena suaminya meninggal, juga kejadian di kereta tadi yang membuatku semakin mengerti arti hidup ini.


Setelah istirahat sejenak, aku mandi dan shalat Ashar. Mas Yusuf belum juga pulang. Aku menyempatkan diri memasak sayur sawi dan menggoreng telur untuk makan malam Mas Yusuf. Tapi sampai Maghrib tiba, dia belum pulang-pulang juga. Masakanku sudah dingin. Sebenarnya aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang tidak semestinya. Akhirnya kuurungkan niatku.


Kulihat jam dan azan Isya berkumandang. Aku putuskan untuk segera shalat dan mengadu PadaNya. Aku ingin sekali menangis. Menangis dengan sungguh-sungguh di hadapan Rabbku. Menangis dengan air mata yang sejak tadi siang kutahan. Aku tak pernah sesedih ini. Rasanya sakit seperti teriris-iris pisau sembilu. Aku kecewa padanya.


Kucurahkan semua perasaanku dalam buku harianku. Diatas buku itu kugoreskan tinta hitamku. Berharap agar perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi lebih tenang. Hanya buku harianku yang selama ini selalu menemaniku melewati hari-hari yang baru aku jalani bersama Mas Yusuf. Suamiku yang aku tahu tidak pernah mencintaiku. Suamiku yang aku tahu berbohong padaku tadi siang. Remuk rasanya jiwa ini. Sejadi-jadinya aku menangis sambil terus mencurahkan perasaanku di dalam buku harianku.


Kurasa mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk tapi Mas Yusuf belum juga pulang. Tidak menelepon ataupun mengirimkan sms sekedar memberitahukan dimana dia sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak mengunci pintu depan. Mas Yusuf membawa kunci rumah yang satu lagi. Aku melihat kembali makanan yang tadi aku masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur kedalam penghangat nasi dan telurnya kubiarkan diatas meja makan yang kututup dengan tudung saji.


Aku kembali lagi kekamar dan bersiap untuk tidur. Namun baru sekitar 15 menit aku memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara pintu rumah dibuka. Aku yakin itu Mas Yusuf. Kudengar dia melangkah masuk kedalam kamar. Aku masih memejamkan mata sambil memiringkan tubuhku membelakanginya. Aku putuskan untuk tidak bangun dan menyambut kedatangannya. Aku kahawatir dia melihat mataku yang bengkak lalu dia menanyakan alasannya. Kumantapkan hati untuk tidur malam ini. Dan Mas Yusuf? Biarlah dia makan sendiri malam ini. Toh, nasi, sayur, dan telurnya sudah aku siapkan di meja makan. Biar bagaimana pun, aku hanya ingin menjadi istri yang baik dan berbakti pada suami.


Meskipun hatiku sakit. Tapi untuk malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan sendiri. Aku tak sanggup melihat wajahmu. Di luar, hujan turun secara perlahan mengantarkan deras yang tiada terkira. Dalam pejam malamku aku berdo’a,


”Ya Allah, ampuni segala dosa-dosaku dan dosa-dosa suamiku. Berikanlah kami kekuatan untuk bisa tetap bertahan di jalan IstiqomahMu. Aamiin”



Sisa-sisa hujan masih terus saja mengguyur kota Jakarta. Dan pagi ini pun hujan masih terus turun dengan derasnya. Sebagian kota Jakarta sudah ada yang tergenang banjir. Aku lihat di berita pagi yang menyebutkan bahwa sebagian kawasan di Jakarta sudah terendam oleh banjir setinggi 1-2 meter. Kebetulan hari ini adalah hari ahad, jadi tidak ada kegiatan yang mengharuskan aku keluar rumah. Dan aku putuskan untuk tetap dirumah dan kembali duduk di depan komputer untuk meneruskan tulisanku.


Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Kulihat Mas Yusuf sedang menonton televisi. Aku sedang memasak nasi goreng untuk sarapan paginya. Setelah itu kami sarapan bersama tanpa perbincangan yang berarti. Hanya suara penyiar berita di televisi yang mengisi kebisuan kami. Selesai sarapan aku memasak tumis kangkung dan menggoreng tempe. Tak lupa sambal goreng yang menjadi pelengkap menu masakan hari ini. Selesai masak pukul 08.45. Aku bergegas membersihkan tubuhku dari sisa asap masakan. Aku berencana meneruskan tulisanku setelah shalat dhuha nanti.


Hujan belum juga reda sementara petir terus saja bersahut-sahutan di langit sana. Aku masuk ke kamar dengan sebelumnya menatap Mas Yusuf yang tengah membaca koran di ruang tamu. Televisinya dimatikan, mungkin karena takut tersambar petir. Aku shalat dhuha di kamar, bermunajat sebentar, kemudian langsung menghidupkan komputerku.


Aku mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum Mas Yusuf memanggilku karena ada telepon dari pihak penerbit. Aku keluar dan menerima telepon itu. Tak berapa lama, aku menyudahinya. Dari pihak penerbit memintaku untuk membuat ucapan terima kasih karena novel ketigaku akan segera diterbitkan. Hatiku senang tiada terkira. Berkali-kali kuucap rasa syukur yang teramat dalam pada Allah swt. Di tengah derasnya hujan yang belum juga berhenti, aku mendapatkan berita yang menyejukkan hatiku.


Aku kembali ke kamar untuk meneruskan tulisanku. Kulihat kini Mas Yusuf tengah meringkuk di atas tempat tidur membelakangi diriku. Kuposisikan diriku di depan layar komputer. Baru beberapa baris aku mengetik, Mas Yusuf membalikkan tubuhnya dan bertanya padaku.


”Ada apa dari pihak penerbit menelepon?”


”Memberi tahu kalau novelku yang ketiga akan segera di proses” Jawabku singkat tanpa memalingkan wajahku dari layar komputer. Tiba-tiba aku berinisiatif membuatkan susu hangat untuk Mas Yusuf. Aku menoleh sesaat ke arahnya yang tengah bersandar di kepala tempat tidur sambil membaca buku. Aku beranjak keluar kamar untuk membuat susu hangat kemudian ku berikan padanya.


”Nih Mas. Susu hangat untuk menghangatkan tubuh” Kataku sambil menyodorkan segelas susu padanya. Dia menerimanya dan meminumnya sedikit demi sedikit. Aku masih duduk di pinggir tempat tidur sambil menatapnya. Aku begitu mencintainya. Apakah dia juga merasakan hal yang sama sepertiku? Kutepis segera pemikiranku. Aku kembali tertuju pada komputerku sebelum Mas Yusuf menggamit tanganku dan menyuruhku untuk tetap duduk.

Aku tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Dia beranjak dari tempat tidur lalu mematikan lampu yang ada di kamar dan menutup semua gorden di jendela kamar. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Apa yang hendak ia lakukan?


Dia berjalan ke arahku dan pada saat yang sama, dia mengajakku

bercinta. Yang aku ingat, terakhir kami memadu kasih.....3 minggu yang lalu. Hatiku kembali berdebar. Mataku menatap penuh tajam ke arah matanya.


Di tengah derasnya hujan, Mas Yusuf membawaku ke taman surga. Di pojok kamar sana, komputer belum sempat aku matikan. Aku masih belum mengerti kenapa Mas Yusuf mengajakku bercinta. Jujur, ini adalah kado terindah untuk novelku yang ketiga. Atau mungkin, ini adalah penebus rasa bersalahnya karena kemarin dia telah berbohong padaku. Entahlah

~~**♥ NEXT CHAPTER,,,,THE END ♥**~~

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : ~*♥ KETIKA CINTA HARUS BERSABAR ~*♥ Bagian 9

0 komentar:

Post a Comment