DEWA CINTA SEDANG TERLELAP

Mataku melekat pada tetesan-tetesan air hujan yang turun, yang memukuli kaca tipis jendela kamarku. Suaranya berderap seperti bunyi hentakan sepatu prajurit yang tengah berbaris. Kuhirup nafas dalam-dalam. Aku senang jika hujan turun, karena aku sangat suka mencium aroma khas saat air hujan tengah beradu dengan tanah. Sangat tepat menggambarkan kesan kesendirian dan kesenduan.
Kulemparkan ponselku begitu saja ke atas kasur yang bersepray warna hijau lumut. Alat komunikasi yang baru saja kugunakan untuk menjawab panggilan dari Mama. Sebenarnya aku sangat menyayangi wanita paruh baya itu. Namun terkadang perasaan manis itu bisa berubah menjadi kemarahan dan kekesalan yang merasuk. Seharusnya aku memang tidak pantas untuk marah kepada wanita yang telah mempertaruhkan nyawa ketika hendak melahirkanku, serta yang telah merawatku hingga saat ini aku berusia 20 tahun.

Tapi apa daya, aku sering sekali kehabisan kesabaran setiap kali Mama mempertanyakan satu hal kepadaku. Hal yang merupakan satu-satunya pemicu masalah diantara kami. Mama selalu mendesakku untuk segera memperkenalkan kekasihku kepadanya. Tapi bagaimana caranya? Saat ini aku tidak mempunyai seorang pacar. Atau lebih tepatnya, aku TIDAK PERNAH punya pacar dan merasakan yang namanya pacaran.

Usia 20 tahun memang masih tergolong terlalu muda untuk menikah. Selain itu aku juga masih mempunyai seorang kakak lelaki yang masih melajang. Tapi Mama memang tidak berniat untuk segera menikahkanku. Beliau hanya ingin aku memiliki seorang kekasih, layaknya remaja-remaja perempuan lainnya. Sikap cuekku pada laki-laki, ditambah kesibukanku kuliah serta teman-temanku yang hampir seluruhnya perempuan, selalu membuat Mama khawatir jangan-jangan aku lebih suka perempuan daripada laki-laki. Dan tuduhan itulah yang selalu membuatku gerah setengah mati.
Sebenarnya dulu saat berumur belasan tahun aku juga pernah merasakan hidup seperti gadis remaja ‘biasa’ yang mengenal dan merasakan merah jambu cinta dan birunya kasih. Tapi ternyata rasa itu hinggap di waktu dan tempat yang salah.

Papa tidak setuju aku dekat-dekat dengan seorang cowok, dengan alasan aku masih terlalu muda. Padahal kala itu usiaku sudah 17 tahun. Suatu hari Papa memergokiku sedang jalan bareng seorang teman cowok sepulang sekolah. Sorenya setiba Papa di rumah, tanpa ada ucapan salam maupun basa-basi, Papa langsung menghampiriku yang tengah menonton televisi, lalu menampar wajahku keras. Papa marah karena aku tidak mengindahkan larangannya. Padahal cowok itu hanya sekedar teman dekat (gebetan).

Lagi pula apa salahku? Aku hanya seorang gadis muda yang sedang mengikuti alur kehidupan sesuai usiaku saat ini. Tapi Papa tidak pernah mau mengerti. Beliau menampar dan menghujaniku berbait-bait kalimat sumpah serapah. Seolah aku adalah seorang teroris yang telah membom suatu Negara dan menyebabkan kematian jutaan orang tak berdosa.
Aku udah gede. Papa jangan perlakukan aku seperti binatang!” Jeritku dengan suara melengking tinggi. Papa semakin marah mendengar teriakanku. Tangannya bertambah keras memukuliku, bahkan juga Mama serta kakak lelakiku yang berniat melerai.

Tidak lama setelahnya Mama memilih untuk berpisah dengan Papa. Karena kami sudah tidak tahan lagi dengan sikap Papa yang kelewat diktator dan otoriter. Yang sangat sering salah menggunakan dan meletakkan tangannya, ditempat yang seharusnya dihujaninya kasih sayang dan bukannya tamparan serta cercaan. Seolah-olah Mama, kedua kakak lelaki dan aku, adalah pekerja rodi yang harus menerima pukulan dan hukuman setiap kali tidak turut pada peraturan para penjajah.

Sejak peristiwa itu, aku mengalami trauma. Aku berubah menjadi sangat cemas bahkan takut untuk dekat-dekat dengan makhluk berbentuk cowok. Dalam sekejap, rasa percaya dan simpatiku pada cowok menguap tanpa bekas dari relung hati dan kehidupanku. Jangankan ingin pacaran, memikirkan hal itu saja sudah membuatku enggan setengah mati.

Kualihkan pandangan dari kaca jendelaku yang masih dipenuhi air hujan, lalu menatap ponselku sejenak. Baru saja Mama bilang di telefon, bahwa bulan depan Mama, mas Sakti beserta istrinya, akan datang mengunjungiku ke sini. Aku yang kuliah di Universitas Sriwijaya Palembang, memang harus tinggal terpisah dari keluargaku yang berdomisili di Medan Sumatera Utara. Ada senangnya mereka akan mengunjungiku, mengingat rasa rindu yang sudah membuncah di dalam hati karena sudah hampir 6 bulan aku tidak pernah pulang mengunjungi mereka. Tapi satu yang membuatku pusing, karena ucapan Mama yang bilang bahwa bulan depan aku sudah HARUS mempunyai pacar yang akan kuperkenalkan. Kalau tidak, aku akan dijodohkan dengan anak kenalannya.
* * *

Sengatan mentari yang sangat terik memaksaku untuk buru-buru memasukkan sepeda motor ke halaman rumah kontrakanku. Bergegas aku kembali untuk menutup pintu pagar yang tadi kutendang begitu saja. Dengan kasar kupungut sehelai sobekan koran yang mengganjal di bawah pagar. Baru saja ingin membuangnya ke tong sampah, saat itulah mataku menangkap tulisan yang tertera di sebuah kolom. Kubaca dengan cermat, kemudian kubawa potongan koran tersebut ke dalam rumah.
Aku bingung. Mungkin saja ini ulah orang-orang iseng. Akan tetapi ultimatum Mama yang tenggang waktunya tinggal dua pekan lagi, memaksaku untuk berfikir ulang. Kutimang-timang koran yang sangat kotor dan mulai berwarna kekuningan itu. Kukibas-kibaskan agar bekas tapak sepatu diatasnya bisa berkurang. Kemudian kubaca kembali tulisan di dalamnya. Sebuah kolom Biro jodoh yang menamai dirinya Malaikat Cinta. Dan dari sekian banyak nama yang mempromosikan diri, hanya satu yang membuatku tertarik :
‘Jeremy Pram/ 27 tahun/ Masinis KA/ Lajang/ 085211111111’

Dari dulu aku paling tidak tertarik dengan yang namanya layanan biro jodoh. Menurutku para peminatnya hanyalah manusia-manusia yang tidak menghargai cinta sehingga menyerahkan urusan paling sensitiv tersebut kepada pihak lain. Tapi kali ini semua prinsip itu serasa menguap begitu saja dari otakku. Ancaman Mama terlalu mengerikan. Aku tidak mau jika harus dijodohkan dengan anak kenalan Mama. Aku dan Mama kan sudah berbeda generasi, jadi kriteria pilihan Mama pasti sangat berbeda dengan kriteria pria impianku. Lagipula kalau aku tidak menyukai pria yang ada di biro jodoh ini, aku bisa segera mengakhiri hubungan. Anggap saja dia hanya pacar pinjaman yang akan kugunakan untuk menghadapi kedatangan Mama.

Iseng, kuraih ponselku dari dalam ransel, kemudian menekan nomor ponsel Jeremy Pram yang tertera di koran. Aku sedikit deg-degan menunggu sambungan telefon. Beberapa detik kemudian, sebuah suara berat dan agak serak menggema.
Aduh..!” Ringisnya, di tengah suara yang hingar bingar.
Halo.” Sapaku bingung mendengar ucapannya.
Eh, halo. Sorry ini dengan siapa ya?” Tanyanya. Kini sekitarnya sudah tenang, tak terdengar lagi keramaian sebelumnya.
Saya Pelangi, saya lihat nama dan nomor kamu di kolom Malaikat Cinta di surat kabar lokal.” Ucapku agak ragu.
Wah, gak nyangka ternyata ada yang tertarik juga sama kolom itu. Padahal saya aja udah hampir lupa tuh.” Serunya sebelum kemudian memperdengarkan tawanya yang renyah ke telingaku.
Maaf ya kalau saya ganggu. Kamu lagi sibuk ya? Tadi kok berisik banget?” Kuberanikan diri untuk 

mulai bertanya.
Tadi saya emang lagi di stasiun kereta, tapi sekarang udah nggak. Kamu juga gak ngeganggu kok, saya lagi libur. Liburan panjang.” Sekali lagi cowok yang belum kukenal itu menghadiahiku tawanya yang entah kenapa langsung kusukai. Mungkin karena sama-sama jomblo dalam waktu yang lama, aku dan Jeremy langsung cepat akrab. Dia ternyata seorang yang cerdas dan up to date. Dia selalu bisa mengimbangi topik obrolan yang kulahirkan. Besoknya selepas makan malam, kuputuskan untuk menelefon Jeremy lagi.

Aduh kepalaku.” Ringisnya lirih.
Jeremy, kamu kenapa? Sakit ya?” Berondongku sedikit khawatir. Diam beberapa detik hingga kemudian dia menjawab.
Sorry ya. aku memang sering merasa sakit kepala. Tapi sekarang udah baikan kok.” Jawabnya. Kali ini suaranya sudah normal lagi.
Beneran udah gak sakit lagi?”
Iya, sakitnya udah hilang kok. Aku seneng deh dikhawatirin sama kamu.” Godanya, tak ayal membuat wajahku merona.
* * *

Seminggu sudah aku dan Jeremy saling berkomunikasi, walaupun bisa dibilang selalu aku yang menelfonnya lebih dahulu. Apakah dia tidak menyukaiku? Tapi kalau sedang ngobrol, dia sangat sering mengatakan kalau dia senang bisa ngobrol denganku. Dia juga tak jarang menggodaku, bahkan terkadang menggunakan kalimat-kalimat gombal yang garing. Tapi memang ada yang aneh. Jeremy tak pernah sekalipun membalas pesan singkat yang kukirimkan. Akan tetapi selalu ada setiap kali ku telefon. Apakah dia type laki-laki pelit yang terlalu perhitungan? Kucoba mengingat-ingat kembali setiap potongan percakapan kami. Entah kenapa aku sering merasa khawatir setiap kali mendengarnya meringis dan mengeluhkan sakit kepalanya. Katanya dia sering merasa pusing, namun selalu mengelak setiap kutanyakan tentang penyakitnya. “Hm, mungkin Jeremy bukannya pelit, tapi dia harus menyisihkan sebagian besar uangnya untuk biaya pengobatan kepalanya.” Batinku, menghibur diri sendiri.
* * *

Aku mulai kelimpungan. Deadline sudah hampir habis. Tiga hari lagi Mama akan datang ke Palembang. Sudah sejak empat hari lalu aku mengajak Jeremy ketemuan, namun cowok itu selalu saja berdalih untuk menghindar. Sekarang aku sudah tidak perduli kalaupun dia tidak menyukaiku. Satu-satunya tujuanku kini hanyalah ingin minta bantuannya untuk pura-pura menjadi kekasihku di hadapan Mama. Kuraih ponselku, lalu menghubungi Jeremy untuk kesekian kalinya.
Ya?” Sapanya sedetik setelah nada pertama sambungan telefon.
Gimana, bisa gak kita ketemuan? Please.” Seruku tanpa basa-basi.
Aduh!” Jeritnya.
Kamu kenapa? Sakit lagi? Jeremy, kayaknya penyakit kamu serius deh.” Cecarku tanpa berusaha sedikitpun menutupi rasa cemasku terhadapnya. Hening beberapa detik.
Pelangi, thanx banget ya kamu perhatian sama aku. Aku pasti gak akan pernah ngelupain kamu.” Ucapnya. Suaranya sudah kembali tenang tak menunjukkan rasa sakit yang dideranya lagi.
Ketemuannya gimana?” Tak kuhiraukan ucapannya. Diam lagi, lebih lama.
Sebenernya aku belum siap. Tapi karena kamu ngotot, biar aku ngalah aja. Besok jam 10 pagi kamu datang ke stasiun kereta. Kamu temuin Pak Dimo, biar beliau yang antarkan kamu ke tempatku.” Paparnya, seraya menghela nafas panjang. “Pelangi, aku sayang sama kamu.” Imbuhnya lalu mematikan telefon sebelum aku sempat menjawab.
* * *

Bola mataku menyapu seluruh stasiun Kertapati, mencoba mencari sosok Pak Dimo seperti yang digambarkan oleh Jeremy. Kemudian tampak seorang pria separuh baya yang berkulit kecoklatan, tinggi dan buncit, sedang menyeberangi rel. Cepat-cepat kuhampiri laki-laki yang mengenakan topi pet berwarna hitam tersebut. Kuhembuskan nafas lega begitu kakiku berhasil menjajari langkahnya, dan ekor mataku sempat menangkap nametack-nya. Dimo Wardhani.
Maaf mengganggu sebentar Pak Dimo. Saya Pelangi.” Sapaku sembari menyodorkan telapak tangan. Lelaki itu menghentikan langkahnya, mengamatiku beberapa saat sebelum kemudian menyambut uluran tanganku.

Ada yang bisa Bapak bantu?” Tanyanya ramah.
Saya ingin ketemu Jeremy pak. Dia suruh saya kemari, biar Bapak yang anterin saya ke tempatnya.” Pintaku sopan. Kutatap wajah kukuh itu lamat-lamat karena hampir semenit lamanya beliau diam dan justru memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Kamu ada hubungan apa sama dia? Sudah kenal berapa lama? Kapan terakhir bertemu?” Berondongnya membabi buta. Bingung dengan sikapnya, kututurkan dengan jujur mengenai pertemuanku dengan Jeremy.

Ini keretanya nak.” Ujar Pak Dimo lirih, menunjuk sebuah kereta berwarna putih. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan gundah, seiring jiwaku yang hampir saja melompat meninggalkan ragaku. Tubuhku limbung, namun berhasil ditangkap oleh Pak Dimo. Dihadapanku teronggok sebuah kereta yang tinggal bangkai. Beberapa bagian sudah hancur dan lecet. Kaca-kacanya pun sudah pecah.
Tak ada kata yang keluar dari bibirku, hanya tetesan-tetesan bening yang tak mau berhenti. Pun saat Pak Dimo membawaku ke kantornya dan memperlihatkan sebuah artikel dalam komputer usangnya.
Kecelakaan Kereta Api penumpang Limex Sriwijaya jurusan Kertapati (Palembang)-Tanjung Karang (Bandarlampung) terjadi sekitar pukul 7 pagi (Sabtu, 16/08/2008) di daerah Kampung Baru, Kedaton, Bandarlampung. Kereta Api Limex Sriwijaya yang mengangkut penumpang dari arah Palembang itu menabrak lokomotif Kereta Api Batubara rangkaian panjang (Babaranjang) yang sedang berhenti di jalur rel. Entah apa sebabnya, kedua Kereta Api berada pada satu jalur rel yang sama. Sehingga tak dapat dihindarikan lagi kecelakaan. Kereta Api penumpang Limex Sriwijaya menabrak Kereta Api Babaranjang pagi itu. Menurut sumber Okezone, sebanyak 8 orang penumpang meninggal dunia. Salah satunya adalah seorang masinis Kereta Api penumpang Limex Sriwijaya.”
Dia meninggal dengan kondisi batok kepala hancur karena terjepit.” Kuangkat tanganku sebagai isyarat agar Pak Dimo tidak melanjutkan ucapannya lagi. Kuseka air mataku yang semakin membanjir. Kini aku tahu penyakit apa yang bersarang di kepala Jeremy. Dan aku juga bisa paham mengapa dia tak pernah membalas pesan singkatku. “Nak, Bapak cuma bisa pesan satu hal sama kamu. Kalau ingin menghubungi seseorang yang kamu tahu lewat media, lebih baik kamu cek terlebih dahulu tanggal media tersebut.” Jari Pak Dimo menunjuk potongan koran berisi kolom Malaikat Cinta yang memuat data Jeremy . Ternyata disudut kanan atas surat kabar tersebut tertera tanggal 02 Maret 2008. Tanggal yang sama sekali tak kuperhatikan sebelum menghubungi Jeremy. Dan itu sudah hampir tiga tahun berselang. Kini sudah tahun 2011.

Keesokan harinya, aku kembali lagi ke stasiun Kertapati. Kali ini aku membawa kembang untuk kutaburkan di bangkai kereta bekas milik Jeremy.
Hampir saja aku jatuh cinta padamu Jeremy. Andai kamu tahu betapa bahagianya aku saat kemarin di telefon kamu bilang kalau kamu sayang aku. Tapi sekarang dunia kita sudah berbeda. Aku harap kamu bisa menemukan jodohmu di alam sana. Kekasih abadi, yang takkan terpisahkan lagi oleh kematian. Mungkin aku memang sudah ditakdirkan Tuhan untuk jomblo seumur hidup. Sepertinya dewa cintaku sedang tertidur lelap. Dan mungkin aku harus pasrah dengan pria pilihan Mama.” Bathinku miris.

Pernah suatu kali aku kangen pada Jeremy, iseng kuhubungi nomor ponselnya. Namun yang terdengar hanya suara orang asing.
Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan!”

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : DEWA CINTA SEDANG TERLELAP

0 komentar:

Post a Comment